Kitab al-Hikam dipandang sebagai kitab kelas berat bukan saja karena struktur kalimatnya yang bersastra tinggi, melainkan juga kedalaman makrifat yang dituturkan lewat kalimat-kalimatnya yang singkat
KASATMATA.TV – Kitab Al-Hikam lebih membahas tentang tauhid dan akhlak yang mengarah kepada Tasawuf Islam. Jadi kandungan kitab Al-Hikam yang utama yakni ajaran spiritualitas Islam.
Karya Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari ini banyak dikaji baik kaum akademisi hingga menjadi pegangan pokok untuk diajarkan di Pondok Pesantren.
Kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha’illah isinya berupa mutiara-mutiara yang penuh dengan keindangan dan meningkatkan kesadaran spritual, tidak hanya bagi para salik dan murid-murid tasawuf, tetapi juga untuk umumnya para peminat olah batin.
“Sebenarnya kesusahan dari bencana yang menimpamu akan menjadi ringan, apabila kalian sudah mengetahui bahwa Allah sedang mengujimu”
Untaian mutiaranya telah mempesona jutaan hamba pencari keindahan Sang Maha Indah. Hidup akan diliputi kegamangan bila kita tidak tahu tujuan hidup kita.
Dalam kitab Al-Hikam, kita diajak menyelami isi kandungan kitab Al-Hikam yang di dalamnya terkandung hikmah-hikmah ajaran Syekh Ibnu Athaillah yang merupakan pengikut Tarekat Syadziliyah.
Dengan memahami isi kandungan kitab Al-Hikam agar hidup kita menjadi bermakna, tenteram dan indah.
Kitab ini menyediakan arahan kepada kaum beriman untuk berjalan menuju Allah Swt, lengkap dengan rambu-rambu peringatan, dorongan dan penggambaran keadaan tahapan serta kedudukan rohani.
Meski terkadang kitab al-Hikam dipandang sebagai kitab kelas berat bukan saja karena struktur kalimatnya yang bersastra tinggi, melainkan juga kedalaman makrifat yang dituturkan lewat kalimat-kalimatnya yang singkat.
Menjadi kitab yang bahasanya luar biasa indah. Kata dan makna saling mendukung melahirkan ungkapan-ungkapan yang menggetarkan.
6 Isi Kandungan Kitab Al-Hikam
Berikut ini enam isi kandungan kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Athaillah yang dapat dijadikan pelajaran dan renungan bagi kita.
1. Pasrah kepada Allah Swt
Tidak boleh bergantung kepada amal:
مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ
“Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja’ (rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana.”
Orang yang arif adalah orang yang tidak membanggakan amal ibadahnya. Orang seperti ini kurang pengharapannya kepada Allah, ketika ia berhadapan dengan rintangan yang menimpa.
Sedangkan sifat orang yang bijaksana dalam meneguhkan imannya kepada Allah selalu berpegang teguh kepada kekuasaan yang ada pada Allah.
Para arifin dalam imannya kepada Allah selalu menyaksikan kebenaran-Nya dari atas permadani dalam hidupnya.
Ia tidak dapat memutuskan hubungannya dengan Allah karena telah menyaksikan kebesaran Allah dari hidupnya sendiri.
Ia tidak menjadikan amal ibadahnya sebagai suatu kewajiban seorang hamba kepada Khaliq yang senantiasa ia khawatirkan, kalau ibadahnya itu tidak diterima oleh Allah Swt.
Penjelasan Perihal orang-orang shadiqin di dalam tajrid
“Kehendakmu agar semata-mata beribadah, padahal Allah sudah menempatkan dirimu sebagai golongan orang yang harus berusaha untuk mendapatkan kehidupan duniamu (sehari-hari), maka keinginan seperti itu termasuk perbuatan (keinginan) syahwat yang halus. Sedangkan keinginan untuk berusaha, padahal Allah telah menempatkan dirimu di antara golongan yang semata-mata beribadah, mengikuti keinginanmu itu, berarti engkau telah turun dari semangat dan cita-cita yang tinggi”.
Ungkapan tajrid di atas berarti meninggalkan sebab yang menjadi jalan untuk menemukan apa yang seharusnya dijalankan oleh orang-orang shadiqin, yakni dengan melaksanakan suatu sebab tidak membiarkan dirinya jatuh kepada perbuatan yang salah, karena berniat meninggalkan urusan duniawi, sebab semata-mata hendak beribadah.
Watak yang dimiliki oleh orang shadiqin, ialah tidak meninggalkan dunia karena akhirat, dan tidak meninggalkan akhirat sebab dunia.
Hubungan timbal balik antara dunia dan akhirat seperti yang dikehendaki oleh Islam, adalah suatu keharusan yang patut diusahakan dan ditunjang dengan perilaku akhlak Islami yang akan menunjang semua hal yang menyangkut urusan duniawi dan ukhrawi.
Perjuangan tidak merubah takdir:
سَـوَ ابِـقُ الْهِمَمِ لاَ تَخـْرِقُ أَسْوَارَ اْلأَقْدَارِ
“Kekuatan himmah-himmah tidak akan mampu mengoyak tirai takdir Allah.”
Kemauan keras (himmah sawabiq) termasuk suatu kekuatan yang dimiliki manusia atas izin Allah untuk memperoleh sesuatu yang dicari dalam kehidupan duniawi.
Kemauan keras ini adalah pendorong untuk memperoleh suatu cita-cita. Namun demikian semangat dan cita-cita hamba Allah, tetap berkaitan erat iradat dan izin Allah (takdir Allah).
Pada akhirnya segala kekuatan yang dimiliki manusia itu terbatas dan akan tertambat pada kehendak dan takdir Allah. Karena cita-cita yang keras dan bersemangat tidak mampu menerobos takdir Allah.
Akan tetapi dalam banyak hal, ketika seorang merasakan adanya kemauan dalam dirinya untuk mendapatkan apa-apa yang ia cita-citakan.
Maka kemauan keras itu hendaklah tersalurkan bersama gerakan iman yang yang memenuhi seluruh kalbunya. Karena iman inilah yang mengatur himmah yang dimiliki oleh seseorang.
Apakah ia tunduk kepada takdir Allah ketika ia melaksanakan panggilan himmah-Nya ataukah ia menolak. Apabila ia menerima qada‟ dan qadar Allah membuat orang beriman menjadi tenang.
Ia tidak berputus asa dan tidak menyesali dirinya. Ia pun tidak berprasangka buruk kepada Allah dan kepada manusia.
Ihwal orang-orang yang arif dalam persoalan tadbir:
أَرِحْ نــَفْسَـكَ مِنَ الـتَّدْبِــيْرِ، فَمَا قَامَ بِـهِ غَيْرُ كَ عَـنْكَ لاَ تَـقُمْ بِـهِ لِنَفْسِكَ
“Istirahatkan dirimu dari tadbiir (melakukan pengaturan-pengaturan)! Maka apa-apa yang selainmu (Allah) telah melakukannya untukmu, janganlah engkau (turut) mengurusinya untuk dirimu.”
Tadbir itu adalah rencana masa depan seorang hamba sesuai dengan kemauan dan kesanggupannya.
Hal ini bukannya tidak diperkenankan kepada manusia, akan tetapi manusia perlu memahami bahwasannya sebagai sesuatu yang berlaku dalam hidup di dunia ini, telah diatur oleh Allah Ta‟ala atas diri seseorang, maka tidak perlu ia ikut mengaturnya.
2. Ikhlas
Ibnu Mas’ud berkata: “Orang yang ikhlas untuk Rabbnya bagaikan seseorang yang berjalan di atas pasir; tak terdengar langkah kakinya, namun terlihat bekas jejaknya“. (Jâmi’ul Ulûm wal Hikam)
Ruh amal adalah ikhlas, kitab Al-Hikam pasal 10:
اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ، وَأَرْوَاحُـهَا وُجُوْدُ سِرِّ اْلإِخْلاَصِ فِيهَا
“Amal-amal itu semata bentuk-bentuk yang tampil, adapun ruh-ruh yang menghidupkannya adalah hadirnya sirr ikhlas (cahaya ikhlas) padanya.”
Tanda dari semua kemakrifatan dan sifat al-ihsan kepada Allah tidak lain adalah tekun dan rajin beribadah. Itu semua dilaksanakan menurut kehendak dan niat tiap hamba. Memperbanyak amal ibadah juga menurut kemauan dan kemampuan seorang hamba.
Ada yang bagus sholatnya, ada yang bagus puasanya, dan ada pula yang bagus sedekah dan infaqnya.
Di samping itu ada pula yang tekun mempelajari ilmu. Amal ibadah itu terikat dengan niat seseorang menempatkan niat dalam hatinya ketika ia beramal.
Amal ibadah yang kuat tegaknya dan kokoh ikatannya dengan iman ialah dilaksanakan oleh hati yang ikhlas. Karena ikhlas adalah roh amal, dan amal itu menunjukkan tegaknya iman.
Beribadah hanya kepada Allah:
يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اعۡبُدُوۡا رَبَّكُمُ الَّذِىۡ خَلَقَكُمۡ وَالَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَ
Artinya: “Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 21).
Amal perbuatan yang dilakukan oleh para hamba Allah, tidak akan memperoleh apa pun apabila amal tersebut dikaitkan kepada sesuatu selain Allah.
Karena amal seperti itu sangat erat dengan kehendak lain yang sama sekali tidak bernilai ibadah murni. Amal ibadah yang sampai dan diterima oleh Allah adalah amal ibadah yang semata-mata didasarkan untuk mencapai kerindhaan Allah.
Beramal agar termasyur
“Tanamlah wujud dirinya pada tanah yang dalam, karena tidak akan tumbuh suatu tanaman pun, apabila ia tidak ditanam.”
Tidak ada amal perbuatan yang lebih berbahaya dari keinginan beramal agar termasyhur. Karena perbuatan itu walaupun demi kebaikan namamu, akan tetapi bertolak sebagai amal yang ikhlas.
Keinginan agar terkenal sebagai ahli ibadah, apabila diikuti dengan kehendak lain yang bukan ibadah akan membawa si hamba menjadi angkuh dan lupa diri.
3. Memperbaiki diri
Tanda-tanda hati yang mati, Kitab Al-Hikam pasal 58:
مِنْ عَلَامَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَىْ مَا فَاتَكَ مِنَ الْمُوَافِقَاتِ، وَتَرْكُ الْنَّدَمِ عَلَىْ مَا فَعَلَهُ مِنْ وُجُوْدِ الْزَّلَّاتِ
“Di antara tanda-tanda kematian hati (adalah) tidak adanya kesedihan atas apa-apa yang meninggalkanmu berupa (kondisi-kondisi/amalan-amalan) yang sesuai (al-muwafiqati). Dan tidak meninggalkan penyesalan atas apa-apa yang telah engkau lakukan berupa ketergelinciran-ketergelinciran (perbuatan-perbuatan yang menyimpang).”
Hati yang di dalamnya hidup dengan keimanan akan merasa sedih apabila iman dan ta‟at itu hilang daripadanya. Hati yang beriman itu sangatlah senang apabila ia telah melaksanakan kebaikan atau ketaatan.
Jangan meremehkan amal, imbalan atas amal Kitab Al-Hikam Pasal 132:
مَتَى طَلَبْتَ عِوَضًا عَلَى عَمَلٍ طُوْ لِبْتَ بِوُجُوْدِ الصِّدْقِ فِيْهِ وَيَكْفِى الْمُرِيْبَ وُجْدَانُ السَّلَامَةِ
“Apabila engkau menuntut imbalan atas suatu amal perbuatan (maka) engkau dituntut dengan adanya ke-shiddiq-an di dalamnya. Dan cukuplah bagi seorang peragu (sekadar untuk) memperoleh keselamatan.”
Seorang mukmin sejati beramal semata-mata karena Allah. Tidak ada maksud lain dibalik amal yang diwujudkan bagi hubungannya dengan Allah.
Seorang hamba wajib melaksanakan amal itu secara kontinyu dalam bentuk apa pun, dan tidak merasa bosan karena sesuatu dalam mewujudkan hubungannya dengan Allah.
Penundaan amal ibadah, kitab Al-Hikam pasal 16:
اِحالتكَ الاَعمالِ علىٰ وجودِ الفراغِ من رعوناتِ النـَّفـْسِ
“Menunda amal [amal ibadah & amal kebaikan] karena menanti kesempatan lebih baik, suatu tanda kebodohan yang mempengaruhi jiwa.“
Adapun sifat hamba yang dungu, adalah orang yang suka mempermainkan waktu dan bermain-main dengan waktu, dengan cara menunda amal, atau menomor-duakan amal.
Sehingga amal ibadahnya tertunda oleh waktu yang sempit, atau menghabiskan waktu untuk kepentingan yang lain, sehingga waktu untuk kepentingan yang lain tertinggal.
Orang yang beramal dengan menanti-nanti waktu senggang sama halnya dengan orang yang dipermainkan oleh waktu.
Waktu berjalan terus, sedangkan waktu luang belum juga ada, sehingga amal pun belum dilaksanakan. Apabila jika waktu beramal sangat kecil, sehingga peluang untuk beramal sudah tidak mencukupi.
Yang tersembunyi di dalam hati, kematian hati Al-Hikam pasal 58:
مِنْ عَلَامَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَىْ مَا فَاتَكَ مِنَ الْمُوَافِقَاتِ، وَتَرْكُ الْنَّدَمِ عَلَىْ مَا فَعَلَهُ مِنْ وُجُوْدِ الْزَّلَّاتِ
“Di antara tanda-tanda kematian hati (adalah) tidak adanya kesedihan atas apa-apa yang meninggalkanmu berupa (kondisi-kondisi/amalan-amalan) yang sesuai (al-muwafiqati). Dan tidak meninggalkan penyesalan atas apa-apa yang telah engkau lakukan berupa ketergelinciran-ketergelinciran (perbuatan-perbuatan yang menyimpang).”
مَـا اسْتُوْدِعَ فِىْ غَيْبِ السَّرَاثِرِ ظَهَرَ فٖى شَهَـادَةِ الظَّوَاهِرِ.
”Apa yang tersimpan dan dirahasiakan dalam kegaibannya (hati), bekasnya akan nampak pada kenyataan lahiriah.”
Ini adalah penjelasan tentang yang ghaib. Tentang suara dan wujud hati nurani yang ada di kedalaman jiwa manusia. Apa yang nampak pada keadaan lahiriah seorang hamba, begitu pula keadaan yang ada di dalam bathiniahnya.
Karena yang lahir itu adalah cermin yang bathin. Wujud yang nampak akan menggambar keadaan yang tersembunyi.
Itulah keadaan yang sebenarnya dari orang yang telah sampai ke tingkat makrifat. Lahir dan bathinnya sama. Pada wajah orang yang arif dapat semua yang tersimpan dalam kalbunya. Wajah yang bersih bercahaya menunjukkan pula kalbu yang bersih bercahaya.
4. Berharap kepada Allah
Isi kandungan kitab Al-Hikam selanjutnya yakni tentang berharap kepada Allah Swt. Hal ini tertulis dalam Kitab Al-Hikam pasal 78:
لَا تُطَالِبْ رَبَّكَ بِتَأَخُّرِ مَطْلَبِكَ وَ لكِنْ طَالِبْ نَفْسَكَ بِتَأَخُّرِ أَدَبِكَ.
“Jangan menuntut Tuhan lantaran permintaanmu terlambat dikabulkan. Akan tetapi, tuntutlah dirimu lantaran terlambat melaksanakan kewajiban.”
Permohonan orang-orang yang arif dalam kitab Al-Hikam pasal 114:
العاَرِفُ لاَ يَزوُلُ اِضْطرَارُهُ ولاَ يَكُوْنُ معَ غَيْرِالله قرَارةٌ
“Seorang ‘arif selalu merasa butuh pada-Nya dan hanya merasa tenang jika bersama-Nya.”
Harapan yang diminta oleh para arifin dari Allah sama seperti para ahli ibadah lainnya, dan para ahli zuhud, ulama‟, dan lainnya.
Tiada lain hanyalah agar sungguh-sungguh beribadah dan teguh kokoh dalam menegakkan kewajibaan kepada Allah.
Syekh Abdullah Asy-Syarqawi mensyarah:
“Kebutuhan seorang ‘Arif selalu ada karena ia melihat kuasa Allah yang Maha Menyeluruh, mengenali dirinya sendiri dengan baik, dan menyadari kebutuhannya setiap saat. Lain halnya dengan orang yang tidak ‘Arif, ia terkadang butuh, lalu berdoa, terkadang pula berdoa, namun tidak butuh. Hal itu dikarenakan kebutuhan orang-orang awam bergantung pada adanya dorongan sebab-sebab. Mereka terlalu di dominasi oleh indra dalam penyaksiannya. Jika sebab-sebab itu hilang dari mereka, kebutuhan mereka pun akan sirna.”
5. Mendekatkan diri kepada Allah
Uzlah adalah pintu tafakkur, sebagaimana dalam kitab Al-Hikam pasal 12:
مَا نَـفَعَ الْقَلْبَ مِثْلَ عُزْلَةٍ يَدْخُلُ بِهَا مِيْدَانَ فِكْرَةٍ
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih membawa manfaat bagi qalb sebagaimana uzlah, yang dengan (uzlahnya) itu masuk ke medan tafakkur.”
Dalam uzlah alam pikiran manusia akan menjadi tenang dan luas jangkauannya, wawasan berpikirnya pun bertambah, sedangkan jiwanya menjadi bersih dan tentram.
Dalam keadaan tenang manusia mampu berfikir tentang ciptaan Allah, dan kebesaran Allah sebagai Maha Penciptaalam semesta serta isinya.
أَمَرَكَ فِيْ هذِهِ الدَّارِ بِالنَّظَرِ فِيْ مُكَوِّنَاتِهِ.
“Allah menyuruhmu semasa hidup di dunia ini untuk merenungkan alam ciptaan-Nya.”
Allah memerintahkanmu untuk selalu merenungkan alam ciptaan-Nya. Agar engkau bisa mengetahui takdir-Nya pada lahiriah ciptaan-Nya. Allah berfirman:
قُلِ انْظُرُوْا مَاذَا فِي السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ.
Artinya: “(Wahai Muḥammad) perintahkanlah pada umatmu agar mau merenungkan apa yang ada di tujuh langit dan bumi.” (QS. Yunus: 101).
6. Tidak boleh berputus asa
Syekh Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam Pasal 41 menyampaikan:
إِنْ لَمْ تُحْسِنْ ظَنَّكَ بِهِ لِأَجْلِ حُسْنِ وَصْفِهِ فَحَسِّنْ ظَنَّكَ بِهِ لِوُجُوْدِ مُعَامَلَتِهِ مَعَكَ فَهَلْ عَوَّدَكَ إِلَّا حَسَنًا وَ هَلْ أَسْدى إِلَيْكَ إِلَّا مِنَنًا
“Jika kau tidak bisa berbaik-sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifatNya, berbaik-sangkalah kepada-Nya atas kebaikan perlakuan-Nya terhadapmu. Bukankah Dia selalu memberimu yang baik-baik dan mengaruniaimu berbagai kenikmatan?.”
Boleh berprasangka kepada Allah, selama itu prasangka baik. Prasangka yang baik adalah prasangka orang-orang yang beriman dan saleh, yang hanya berharap kepadaa rida Allah semata.
Allah akan tetap merahmati dan memberkati orang-orang yang berprasangka baik kepada Allah. Baik dengan sifat-sifat Allah atau karena Allah telah membuktikan pemberian-Nya kepada manusia dan alam ini.
Sementara antara maksiat dan rahmat Allah, Syekh Ibnu Athaillah menyampaikan:
“Kemaksiatan yang menimbulkan rasa rendah diri dan harapan (akan rahmat dan belas kasih Allah), lebih baik daripada ta‟at yang memberikan rasa mulia diri dan keangkuhan.”
Perasaan hina dan rendah diri karena perbuatan maksiat yang melekat pada diri, adalah sifat hamba (ubudiyah). Dan perasaan Maha Mulia dan Maha Besar adalah sifat (Rububiyah). Adapun sifat seperti yang dimaksud adalah sikap yang harus dimiliki oleh hamba yang melekat pada dirinya dosa-dosa, hendaklah ia tidak merasa hina dan rendah diri. Ia harus berpengharapan penuh kepada Allah.
Syekh Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam pasal 144 menyampaikan:
السَّتْرُعَلَى قِسْمَيْنِ: سَتْـرٌعَنِ الْمَعْصِيَةِ وَسَتْـرٌ فِيْهَا فَالْعَامَّةُ يَطْلُبُوْنَ مِنَ الله تَعَالَى السَّتْـرَفِيْهَاخَشْيَةَ سُقُوْطِ مَرْتَبَتِهِمْ عِنْدَ الْخَلْقِ، وَالخَاصَّةُ يَطْلُبُونَ مِنَ الله السَّتْـرَ عَنْهَاخَشْيَةَ سُقُوْطِهِمْ مِنْ نَظَرِ الْمَلِكِ الْحَقِّ
“Tutupan Allah itu ada dua jenis: Penutup dari (perbuatan) maksiat dan penutup dalam (perbuatan) maksiat. Maka manusia pada umumnya meminta dari Allah Ta’ala penutup dalam (perbuatan) maksiat, dikarenakan mereka takut martabatnya jatuh dalam pandangan manusia. Adapun orang-orang yang khusus meminta dari Allah penutup dari (perbuatan) maksiat, dikarenakan mereka takut akan kejatuhan mereka dalam pandangan Allah Al-Haqq.”
Demikianlah isi kandungan kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Athaillah, semoga bermanfaat. []