Apakah kreativitas di bidang seni baca puisi bisa dijamin apresiasinya bagi masyarakat
KASATMATA.TV – Konsep Sastra Pertunjukan bisa dibedakan dengan Pertunjukan Sastra. Dalam Pertunjukan Sastra selama ini, karya sastra dibacakan sebagaimana baca puisi atau baca cerpen. Atau dimainkan dalam bentuk drama atau teater, dan di sini naskah drama hanya sebagai bahan pertunjukan.
Pada baca puisi atau baca cerpen, karya sastra itu dengan sendirinya lebih dominan ketimbang aspek pertunjukannya. Sekali pun puisi atau cerpen itu dibacakan secara kreatif, tetap segi pertunjukannya hanya sebagai pendukung dari karya sastra yang ditampilkan. Lihat saja, baca puisi sejak gaya Rendra hingga Sutardji Calzoum Bahri.
Atau, baca cerpen yang di tahun 1980-an dibintangi oleh Chairul Umam. Baca puisi gaya Rendra atau Sutardji, mau pun baca cerpen model Chairul Umam sampai pada saat ini belum mengalami perubahan.
Sejak baca puisi diperkenalkan Rendra pada 1970-an, kemudian marak dalam ajang lomba baca puisi, bahkan tampak adanya satu gaya. Sehingga seni baca puisi yang satu gaya itu, seakan menjadi model yang dianut oleh anak-anak muda.
Di sini timbul pertanyaan, apakah dengan demikian kreativitas di bidang seni baca puisi bisa dijamin apresiasinya bagi masyarakat. Kembali terpulang, bahwa teks puisi sebagai karya sastra itu sendiri, yang menguji tingkat interpretasi pembaca itu sendiri.
Sehingga, perkara apresiasi dan interpretasi terhadap teks ini yang lebih utama, ketimbang citarasa seninya itu sendiri dalam bentuk seni baca puisi. Seni baca puisi yang telah menjadi model tunggal, dikuatirkan menjadi mekanis, menjadi perkara teknis semata. Kecuali, dalam kesempatan acara baca puisi yang dilakukan oleh penyairnya sendiri.
Misalnya seperti yang dilakukan sejak Taufik Ismail, Hamid Jabbar, hingga Afrizal Malna. Toh perbedaan mereka lebih ada pada perkara karakter orangnya, dan teks puisi tetap menjadi faktor utama yang mesti tersampaikan ke publiknya.
Konsep Pertama
Berbeda dengan Pertunjukan Sastra, dalam Sastra Pertunjukan antara teks sastra dan teaterikal pertunjukan tampil seimbang. Kedua aspek itu sama kuat, di sisi kekuatan sastra maupun sisi kekuatan pertunjukannya. Konsep pertama inilah yang diusung oleh Elis Yusniawati (Jakarta), dalam pementasannya yang pertama di Kedai Kopi Sanutoke 8 Oktober 2013, dalam judul “Korban atau Kurban”
Secara kebetulan dalam penampilannya itu, Elis pentas bareng dengan monolog oleh Cak Tohir (Surabaya) yang membawakan monolog “Mat Kasir” (dari lakon Monolog “Kasir Kita”, Arifin C Noer). Sehingga pada keduanya ada perbedaan mendasar antara monolog dan Sastra Pertunjukan.
Pada monolog Cak Tohir jelas, bagaimana monolog adalah seni drama/teater dengan watak yang mesti dibawakan monogernya. Sehingga teks/naskah lakonnya sekadar sebagai bahan. Bahkan di tangan Cak Tohir, naskah Arifin mengalami penyaduran bebas demi kepentingan permainan gaya Srimulatan.
Pada penampilan Elis dengan teks karya sendiri, antara teks dan gerak pertunjukan tampil seimbang. Bagaimana pada gerak, Elis tampil sesuai basisnya sebagai penari balet. Lalu teksnya itu dipadukan dalam gerak tari baletnya itu, sehinga terasa betul dua kekuatan antara gerak tari dan teks itu tersampaikan secara harmonis.
Kemudian pada penampilan kedua di Pelataram Sastra Kendal (26/10), Elis tampil dengan teks berdasarkan cerpen karya Taufiqurrahman (Kendal) “Seclurit Rembulam”. Di sini gerak tari balet Elis lebih diminimalkan, dan hasilnya tetap sama kuat antara teks cerpen dan gerak minimalisasi tari baletnya. Usai pentas konsep Sastra Pertunjukan ini didiskusikan. Bahkan berlanjut, sejak itu muncul facebook berakun grup @Sastra Pertunjukan Kendal.
Konsep Kedua
Pada pentas ketiga Elis, konsep sastra pertunjukan makin mengerucut. Yakni di Kedai Keita’O Ungaran (6/11), saat Elis membawakan cerpen “Cermin” (Eko Tunas). Di sini minimalisasi tari balet Elis lebih diteateralkan, dan pembawaan teks lebih dikuatkan dengan penggambaran watak dalam cerpen itu.
Penggambaran watak di sini, tidak sebagaimana dalam watak yang dimainkan dalam monolog. Tapi watak lebih digambarkan secara gerak itu tadi, sehingga terbebas dari permainan watak selazimnya dalam drama/teater.
Kemudian dalam diskusi usai pentas, muncul konsep kedua Sastra Pertunjukan. Pertama, istilah pemain atau aktor dalam Sastra Pertunjukan, lebih disebut sebagai Presenter. Karena dalam Sastra Pertunjukan, sang seniman berkonsep dasar, bagaimana penampilannya bukan disaksikan tapi justru menyaksikan. Menyaksikan persoalannya dan persoalan masyarakat yang diwakili penonton.
Jadi, bagi Presenter publik bukan semata penonton, tapi orang per-orang bagian dari masyarakat yang secara bersama sang Presenter menyaksikan persoalan yang ada di tengah masyarakat seumumnya.
Kemudian terpulang kepada Presenternya, dalam setiap penampilannya dia mestilah mengolah diri sesuai dengan basisnya. Dalam hal ini secara kebetulan Elis berbasis penari balet, jadi kekuatan itu yang digunakan. Sehingga saat ia sebagai penyaksi, dia berada dalam subyek pengamatannya, dan tidak lari kemana-mana untuk menyaksikan persoalan masyarakat.
Sebagaimana pemilik Kafe Keita’O, pasangan sastrawan Nirwondo El Naan dan Atiek Sadewo, bisa jadi mereka tampil berdasarkan basis mereka sebagai pengelola kafe. Dalam aktivitas keseharian menyedu kopi, ice cream, atau kuliner yang disajikan.
Sehingga dalam Satra Pertunjukan, seorang Presenter tidak belajar teater kemana-mana, tapi melakukan penggalian dari kehidupan kesehariannya. Sebab bisa jadi dari ihwal inilah pada awalnya seni pertunjukan lahir.
Ialah dari gerak manusia sehari-hari, dan dari teks-teks yang muncul dari kehidupan keseharian yang ada. Dari konsep inilah barangkali, apa yang disebut kreativitas lebih bisa membumi, mendarah-daging, dan tidak mengawang, tidak mengkhayal. [Eko Tunas]